Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Al-Amien Tegal bermula dari pendiri pertama KH. Ahmad Chotib. Beliau berasal dari sebuah kampung atau dusun bernama Patapan yang berlokasi di wilayah kabupaten Sumenep, konon masyarakat menyebut Patapan karena dahulu kala di kampung ini merupakan tempat orang bertapa dan kata Patapan itu sendiri diambil dari kata Patapa’an yang artinya tempat bertapa. KH. Ahmad Chotib merupakan putra dari seorang Kiai terpandang di kampung Patapan yang bernama KH. Idris. Kemudian KH. Ahmad Chotib berhijrah ke desa Prenduan untuk melanjutkan perjuangan KH. Ahmad Syarqowi yang merupakan guru sekaligus adik iparnya yang sebelumnya telah berjuang dan mengajarkan agama Islam di desa Prenduan. KH. Ahmad Syarqowi sendiri berhijrah dari desa Prenduan ke desa Guluk-Guluk dan mendirikan Pondok Pesantren An-Nuqayah di Guluk-Guluk, sehingga perjuangannya dilanjutkan oleh KH. Ahmad Chotib di desa Prenduan. Namun sebelum meninggalkan desa Prenduan untuk berhijrah ke Guluk-Guluk, KH. Ahmad Syarqowi terlebih dahulu menikahkan KH. Ahmad Chotib dengan seorang putri asli desa Prenduan yang bernama Siti Aisyah atau lebih dikenal dengan nama Nyai Bani pada hari Jum’at, 28 Jumadil Akhir 1301 H. bertepatan pada tanggal 25 April 1884 M. kemudian KH. Ahmad Syarqowi meminta KH. Ahmad Chotib untuk menggantikannya membimbing masyarakat Prenduan, dan KH. Ahmad Chotib dengan senang hati menerima amanah tersebut.
Namun, di awal perjuangan KH. Ahmad Chotib di desa Prenduan tidak serta merta langsung membina masyarakat, terlebih beliau sebagai seorang pendatang dan lebih memilih untuk berbaur dan menyatu dengan masyarakat, setelah melewati masa beradaptasi yang cukup lama kira-kira 11 tahun, yaitu pada tahun 1313 H atau kira-kira 1895 M. KH. Ahmad Chotib memulai membina masyarakat dengan membuka pengajian kitab di Panggung (sebutan dahulu) atau Dhalem Madrasah (sebutan sekarang) yang merupakan kediaman beliau semula di Prenduan sebelum mendirikan Tegal, lokasinya saat ini di sebelah timur Masjid Gemma, walaupun kegiatan pengajian ini tidak dibuka atau dimulai secara resmi oleh KH. Ahmad Chotib, pengajian ini terus berjalan sampai dua tahun. Tepatnya pada tahun 1315 H atau kira-kira 1897 M. KH. Ahmad Chotib akhirnya meresmikan atas dibukanya pengajian kitab di kediamannya tersebut, namun setelah melihat kegiatan pengajian kitab yang berlangsung di kediamannya yang kurang efektif serta untuk meningkatkan pendidikan Islam di desa Prenduan. Maka pada tahun ini pula, beliau membabat lahan baru untuk mendirikan sebuah Pondok Pesantren. Adapun lahan baru tersebut berlokasi kurang lebih 100 meter di sebelah utara dari kediamannya, yaitu sebuah lahan gersang serta labil bahkan tanah tersebut tidak terlalu luas atau sempit yang dikelilingi oleh tanah pekuburan dan semak belukar, tetapi beliau tetap senang dan optimis. Beliau memulai mendirikan pondok pesantren dengan membangun “congkop” (bangunan persegi semacam joglo) bangunan pertama ini dibangun sebagai pusat aktifitas santri mulai belajar, mengaji, beribadah serta dijadikan asrama bagi yang ingin bermukim di pondok pesantren tersebut. Di lokasi baru inilah kemudian KH. Ahmad Chotib memberi nama TEGAL, awal mula lahan tanah yang menjadi Pondok TEGAL ini tidak sepenuhnya menjadi hak kuasa KH. Ahmad Chotib, namun setelah proses pendidikan berjalan selama empat tahun lamanya, tepatnya pada hari Ahad, 4 Sya’ban 1319 H. bertepatan pada tanggal 17 November 1901 M. lahan tanah TEGAL menjadi hak KH. Ahmad Chotib sepenuhnya untuk kemudian dijadikan lahan perjuangan dan pendidikan, maka pada hari serta tahun ini pula ditetapkan sebagai tahun berdirinya TEGAL secara resmi, pada masa inilah banyak masyarakat dari desa Prenduan bahkan dari luar desa Prenduan mengaji ataupun mondok di TEGAL.
Tetapi sayang sebelum TEGAL menjadi besar seperti yang beliau idam-idamkan, KH. Ahmad Chotib harus meninggalkan Pesantren dan para santri yang beliau cintai untuk selama-lamanya. Tepatnya pada hari Sabtu jam tiga sore, tanggal 7 Rabiul Awal 1349 H. / 2 Agustus 1930 M. Beliau berpulang ke haribaan-Nya setelah sebelumnya sakit selama 10 hari. KH. Ahamd Chotib mempunyai putraputri keseluruhan berjumlah 14 orang (lihat kolom fokus), namun sebagian ada yang wafat, sebagian lagi telah meninggalkan TEGAL untuk ikut suami atau membina ummat di desa lain dan ada pula yang masih belajar di berbagai Pesantren besar maupun di Mekkah. Kepemimpinan KH. Ahmad Chotib di TEGAL secara resmi berlangsung selama 29 tahun (terhitung mulai tahun 1901 – 1930 M). Sejak wafatnya KH. Ahmad Chotib cahaya TEGAL semakin redup karena regenerasi yang terlambat, terlebih setelah wafatnya Nyai Bani pada hari Kamis jam tujuh pagi, tanggal 11 Dzul Hijjah 1354 H. / 5 Maret 1936 M. Walaupun begitu masih ada kegiatan pengajian yang dibina oleh putri beliau yang ke-9 yaitu Nyai Ramna selama beberapa tahun kemudian. Setelah meredup dengan kepergian KH. Ahmad Chotib, kegiatan pendidikan Islam di desa Prenduan kembali menggeliat dengan kembalinya KH. Ahmad Djauhari (putra ke-10 dari KH. Ahmad Chotib) dari Mekkah setelah sekian tahun mengaji dan menuntut ilmu kepada Ulama-Ulama Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Beliau kembali bersama istri tercinta Nyai Maryam yang merupakan putri salah seorang Syekh di Makkah AlMukarromah. Sekembali dari Mekkah, KH. Ahmad Djauhari tidak langsung membuka kembali Pesantren untuk melanjutkan rintisan almarhum ayah beliau. KH. Ahmad Djauhari melihat masyarakat Prenduan yang pernah dibinanya sebelum berangkat ke Mekkah perlu ditangani dan dibina lebih dahulu karena terpecah belah akibat masalah-masalah khilafiyah yang timbul dan berkembang di tengah-tengah mereka.
Setelah masyarakat Prenduan bersatu kembali, barulah beliau membangun madrasah yang baru yang lebih teratur dan terorganisir. Madrasah baru tersebut diberi nama MUDA (Mathlabul Ulum Diniyah) yang artinya tempat mencari ilmu agama. Madrasah ini terus berkembang dari waktu ke waktu termasuk ketika harus berjuang melawan penjajahan Jepang dan masa-masa mempertahankan kemerdekaan pada tahun 45-an. Bahkan ketika KH. Ahmad Djauhari harus mendekam di dalam tahanan Belanda selama hampir 7 bulan madrasah ini terus berjalan dengan normal dikelola oleh teman-teman dan murid-murid beliau. Sampai akhir tahun 1949 setelah peperangan kemerdekaan usai dan negeri tercinta telah kembali aman, MUDA pun semakin berkembang pesat. Muridmuridnya bertambah banyak dan masyrakat semakin antusias sehingga dianggap perlu membuka cabang di beberapa desa sekitar. Tercatat ada 5 madrasah cabang yang dipimpin oleh tokoh masyarakat sekitar madrasah. Selain mendirikan MUDA (khusus putra) beliau juga mendirikan madrasah khusus putri yaitu TIBDA (Tarbiyatul Banat ad-Diniyah) yang artinya pendidikan putri yang beragama. Selain membina madrasah, KH. Ahmad Djauhari tidak lupa mempersiapkan kader-kader penerus baik dari kalangan keluarga maupun pemuda-pemuda Prenduan. Tidak kurang dari 20 orang pemuda-pemudi Prenduan yang dididik khusus oleh beliau. sampai akhir tahun 1950-an dua madrasah MUDA dan TIBDA telah mencapai masa keemasannya. Dikenal hampir di seluruh Prenduan dan sekitarnya. Namun sayang kondisi ummat Islam pada masa itu diterpa oleh badai politik dan perpecahan memberi dampak cukup besar di Prenduan, MUDA dan TIBDA. Memecah persatuan dan persaudaraan yang baru saja terbangun setelah melewati masa-masa penjajahan. Pimpinan, guru-guru, murid-murid MUDA dan TIBDA terpecah belah.
Menjelang akhir tahun 1951, di tengah keprihatinan memikirkan nasib MUDA yang terpecah, KH. Ahmad Djauhari teringat pada Pesantren TEGAL dan almarhum ayahanda tercinta, teringat pada harapan masyarakat Prenduan saat pertama kali beliau tiba dari Mekkah. Beliaupun bertekad untuk membangkitkan kembali harapan yang terpendam “Membangun TEGAL Kembali”. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun sebuah langgar atau mushalla yang menjadi pusat kegiatan santri dan para Ikhwan Tidjaniyyin. Akhirnya setelah kurang lebih 1 tahun, walaupun dengan sangat sederhana Majlis Tidjani pun berdiri tegak. Maka tepat pada hari Senin, 21 Shafar 1372 H. Bertepatan dengan 10 November 1952 M. Upacara yang sangat sederhana disaksikan oleh beberapa santri dan Ikhwan Tidjaniyyin, KH. Ahmad Djauhari meresmikan sekaligus mengokohkan berdirinya kembali sebuah Pesantren yang pernah didirikan oleh ayahanda beliau (KH. Ahmad Chotib) dengan nama Pondok Pesantren TEGAL. Sejak itulah TEGAL berkembang tanpa putus sampai saat ini dan menjadi Pondok Pesantren Al-Amien seperti yang kita kenal sekarang ini. Karena itulah tanggal peresmian berdirinya TEGAL kembali yang dipilih oleh KH. Ahmad Djauhari ini kemudian disepakati oleh para penerus beliau sebagai tanggal berdirinya Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN secara keseluruhan. Di Majlis Tidjani yang baru berdiri inilah, KH. Ahmad Djauhari mulai mengasuh dan membimbing santrisantrinya. Semula hanya sebatas Ikhwan Tidjaniyyin yang datang dan pergi, Seiring berjalannya waktu datanglah santri-santri yang berhasrat untuk bermukim. Pada awal-awal tersebut pendidikan dan pengajaran lebih ditekankan pada penanaman aqidah, akhlak dan tasawuf, selain juga diajarkan kitab-kitab dasar Nahwu dan Shorrof. Pada tahun 1958 Departemen Agama membuka MWB (Madrasah Wajib Belajar) secara resmi dengan masa belajar 8 tahun. KH. Ahmad Djauhari sangat tertarik dengan sistem madrasah ini, karena selain pelajaran agama dan umum juga diajarkan pelajaran keterampilan dan kerajinan tangan. Maka pada pertengahan tahun 1959 beliau membuka MWB di TEGAL, sementara MUDA beliau jadikan Madrasah Diniyah yang diselenggarakan pada sore hari sampai saat ini.
Selain mendirikan MWB beliau juga mendirikan TMI Majalis, diilhami oleh sistem pendidikan Kulliyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Pondok Modern Gontor. Selain mendirikan TMI Majalis, KH. Ahmad Djauhari juga pernah mendirikan Sekolah Lanjutan Pertama Islam yang diprakarsai oleh beberapa orang atau pemuda Prenduan. Namun lembaga ini hanya bertahan selama 2 tahun karena kesalahan manajemen dan kesibukan para pengelolanya. Sehingga muncul pula ide serupa beberapa tahun kemudian. Beliau mendirikan kembali Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) yang pada akhirnya kemudian disatukan dengan TMI Majalis dengan sistem terpadu dan menempati lokasi baru di desa Pragaan Laok yang kini menjadi Al-Amien Prenduan II dan KH. Ahmad Djauhari ditetapkan sebagai pendirinya, tetapi sayang sebelum Al-Amien Prenduan II menjadi besar seperti yang beliau harapkan, KH. Ahmad Djauhari harus meninggalkan pesantren dan para santri yang beliau cintai untuk selama-lamanya, bertepatan pada hari Jumat, 16 Rabiuts Tsani 1391 H. / 11 Juni 1971 M. KH. Ahmad Djauhari berpulang ke Rahmatullah. Beliau mempunyai putra dan putri keseluruhan sepuluh orang (seorang putra yang ketujuh wafat dalam kandungan beserta Ibundanya Nyai Maryam, empat putra lagi wafat ketika K. Ahmad Djauhari masih hidup), sehingga putra – putri beliau yang ditinggal (masih hidup) berjumlah 5 orang (lihat kolom fokus). Kelima putra beliau terdiri dari 3 putra dan 2 putri. Adapaun ketiga putranya KH. Moh. Tidjani, KH. Moh. Idris dan KH. Maktum melanjutkan perjuangan ayahanda tercinta KH. Ahmad Djauhari di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan II, sedangkan putri tertua yang bernama Ny. Hj. Tsaminah melanjutkan perjuangan di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk, sedangkan putri bungsu beliau yaitu Ny. Hj. Makhtumah Djauhari meneruskan perjuangan ayahanda tercinta KH. Ahmad Djauhari di TEGAL. Walaupun putra – putri KH. Ahmad Djauhari mengembangkan pesantren di lokasi baru, TEGAL sebagai sebuah warisan yang tak ternilai dari leluhur KH.Ahmad Khotib tetap dipertahankan bahkan dikembangkan. Untuk itulah kepemimpinan TEGAL dilanjutkan oleh KH. Moh. Musyhab Fatawi yang merupakan cucu pendiri KH. Ahmad Chotib yaitu putra dari Kiai Ahmad Fatawi (putra ketujuh KH. Ahmad Chotib), sebenarnya KH. Moh. Musyhab Fatawi dimasa mudanya telah banyak ikut serta membantu KH. Ahmad Djauhari dalam membangun TEGAL baik dengan cara membina, membimbing serta mendidik para santri sampai akhirnya beliau wafat. Masa kepemimpinan KH. Ahmad Djauhari di TEGAL secara resmi berlangsung selama 19 tahun terhitung mulai tahun 1952 – 1971 M.
Moh. Musyhab Fatawi mulai mengasuh pada tahun 1971 M. Beliau mempertahankan pengajian kitab kuning sebagai landasan santri dalam mengkaji ilmu agama di TEGAL, baik dengan metode sorogan (metode belajar mengaji kepada Kiai seorang demi seorang) ataupun dengan metode weton (metode belajar mengaji dengan cara Kiai yang membaca sedangkan para santri mendengarkan dan menyimak). Metode ini ada dan berjalan sejak KH. Ahmad Chotib dan KH. Ahmad Djauhari, sehingga para santri mempunyai bekal ilmu agama yang sempurna serta mengharapkan barokah dari Allah SWT. Meskipun KH. Moh. Musyhab Fatawi menggunakan metode klasik dalam pengkajian ilmu agama, beliau juga berusaha agar para santrinya mengetahui ilmu umum, belajar serta berlatih dalam kepemimpinan dan berorganisasi, juga dalam mengembangkan bakat dan minat untuk itulah beliau mendirikan sebuah organisasi yaitu ISPAL (Ikatan Santri Pondok Tegal). Beliau juga mendirikan Taman Kanak-Kanak, mengembangkan Madrasah Wajib Belajar menjadi Madrasah Ibtidaiyah, mendirikan Madrasah Tsanawiyah serta mendirikan Madrasah Aliyah. Maka dengan perjuangan KH. Moh. Musyhab Fatawi inilah TEGAL menjadi semakin maju dan berkembang pesat. Namun para santri yang bermukim di TEGAL merasakan kepahitan yang mendalam karena harus berjuang keras untuk mendapatkan air ketika akan berwudu’, mandi dan mencuci karena kurangnya sumber mata air yang mencukupi di TEGAL, hal inilah kemudian KH. Moh. Musyhab Fatawi bersedih, konon sumur di lokasi TEGAL ada, dan lebih dari 5 sumur, namun kelima sumur tersebut tidak ada sumbernya ataupun terdapat sumber tetapi tidaklah mencukupi kebutuhan seluruh santri, sehingga para santri harus rela pergi jauh berjalan keluar TEGAL untuk mencari sekedar air bahkan rela berjalan kaki sejauh lebih 1 KM (di Pakamban dan Aeng Panas) demi mendapatkan air tersebut. Pada akhirnya dengan pertolongan Allah SWT pada tahun 1988 M. KH. Moh. Musyhab Fatawi mengebor air di sebelah timur Majlis Tijani dan Alhamdulillah air tersebut ada dan mencukupi seluruh santri TEGAL sampai saat ini. KH. Moh. Musyhab Fatawi disamping mengurus Pesantren, para asatidz serta para santri di TEGAL beliau juga tidak lepas dengan masyarakat, bahkan beliau senantiasa mendampingi, membimbing serta membina masyarakat sampai akhirnya beliau wafat ditengah sedang mengabdi kepada ummat. Beliau wafat didalam suatu acara yaitu akad nikah di sebuah Mushalla Prenduan pada hari Senin, 08 Jumadil Akhir 1425 H / 26 Juli 2004 M.
KH. Moh. Musyhab Fatawi mempunyai putra dan putri keseluruhan enam orang, namun putra- putri beliau yang ditinggal (masih hidup) berjumlah 3 orang. Dua putri Nyai Nafisah, Nyai Zayyarah dan seorang putra K. Muhajiri. Pada saat itu putra beliau K. Muhajiri sedang menuntut ilmu dan berguru kepada Syaikh Muhammad Ismail Alyamani di Mekkah Al-Mukarramah. Masa kepemimpinan KH. Moh. Musyhab Fatawi di TEGAL secara resmi berlangsung selama 33 tahun (terhitung mulai tahun 1971 – 2004 M). Setahun kemudian pada tahun 2005 M. K. Muhajiri kembali dari Mekkah Almukarramah ke Prenduan untuk melanjutkan perjuangan ayahanda tercinta, dengan nama lengkap “KH. Muhajiri Musyhab Fatawi” yang merupakan cicit pendiri terus berjuang untuk kemajuan ISLAM dan TEGAL sampai saat ini dengan tanpa berhenti mengharap ridha Allah SWT semata.
KH. Muhajiri Musyhab Fatawi merupakan Pengasuh ke-IV Pondok Pesantren AlAmien Tegal. Beliau terus mengembangkan program yang ada dan mempertahankan pengajian kitab kuning yang merupakan warisan dari pendiri pertama (KH. Ahmad Chotib). Selain itu beliau membuka program PONCILA (Pondok Cilik Al-Amien) dan TASMIYAH(At-Tarbiyatus Salafiyah lil-Mu’allimien AlIslamiyah). PONCILA (Pondok Cilik Al-Amien) adalah program akselerasi (cara cepat) baca kitab kuning yang dikhususkan bagi pemula yang masih usia dini untuk mengetahui dan mengusai kaidah-kaidah nahwu shorrof yang disertai dengan dalil-dalil terperinci untuk mengembangkan pengetahuan bahasa Arab yang benar. Adapun latar belakang berdirinya PONCILA yaitu karena rasa keprihatinan terhadap generasi muda yang akhir-akhir ini semakin krisis moral dan minimnya pengetahuan agama, oleh karenanya diperlukan progam untuk mewadahi generasi muda saat ini dalam mengantisipasi perkembangan zaman yang tidak selaras dengan kaidah syariat Islam.
PONCILA berdiri pada hari Rabu, 03 April 2013 yang diresmikan langsung oleh pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien TEGAL ( KH. Muhajiri Musyhab Fatawi ) beserta para pengurus pondok dengan menjunjung tinggi falsafah “an-nahwu was-shorfu taaju-l-fataa” yang didasari dengan visi “Mencetak pemuda yang redyvoyus, multiguna, berakhlaqul karimah dan berilmu amaliyah” sedangkan misi yang ditekankan PONCILA adalah mengusai bahasa Arab yang benar dan terperinci, berahklaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari dan mengaplikasikan kegiatan ubudiyah sebagai sarana hubungan rububiyah (ketuhanan).
Ada perumpamaan yang mengatakan bahwa belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu,sedangkan belajar di waktu dewasa bagaikan mengukir diatas air. Dari istilah ini memotivasi kami untuk maju dan berkembang guna mengimplementasikan peranan pemuda dalam menghadapi perkembangan zaman di era globalisasi yang semakin jauh dari agama yang salah satu faktornya disebabkan oleh kurang kontrolnya campur tangan orang tua, maka dipandang perlu untuk menampung para pemuda memperbaiki generasi masa depan yang lebih baik, sesuai dengan maqalah arab ”syubbanul yaum rijalul ghod” pemuda hari ini adalah harapan hari esok.
Program PONCILA menitik beratkan pada penguasaan kaidah bahasa arab seperti membaca, memahami dan memperdalam kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang berbahasa arab juga penanaman akhlakul karimah kepada para santri dalam menjalani kehidupan sehari-hari di pondok selama 24 jam dan membudayakan kegiatan ubudiyah sebagai pondasi awal dalam mengamalkan kegiatan-kegiatan keagamaan ketika terjun di tengah-tengah masyarakat .seperti pepatah inggris mengatakan “the sains without religious is bland and the religious without sains is nounsen” ilmu umum tanpa didasari ilmu agama bagaikan orang buta dan ilmu agama tanpa ilmu umum bagaikan orang pincang.
Selanjutnya At-Tarbiyatus Salafiyah lil-Mu’allimien Al-Islamiyah (TASMIYAH) adalah salah satu program santri mukim yang mana merupakan perpaduan antara sistem pendidikan salaf dan mu’allimien yang memiliki arti pendidikan salaf untuk kader pemimpin umat. Program yang masih belia ini menekankan pada pengembangan bahasa asing dunia yaitu bahasa Arab dan Inggris yang menjadi bahasa resmi/wajib para santri baik sebagai pengantar pembelajaran ataupun sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di pondok.
Santri TASMIYAH dididik dalam suasana kehidupan berdisiplin di pondok, sehingga para santri dipersiapkan untuk menjadi kader-kader yang berkualitas sebagai calon kader pemimpin umat yang mutafaqqih fid-dien ketika nantinya akan terjun di tengah-tengah masyarakat.
Setiap waktu santri dibekali dengan iman, ilmu dan amal dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari di pondok, penanaman dan pengamalan kegiatan ubudiyah dan akhlaqul karimah menjadi landasan utamanya, sehingga pada akhirnya santri siap menjadi generasi masa depan yang teladan demi mencapai misi sucinya li ‘izzil islam wal-muslimin.
Demikianlah sejarah berdirinya Pondok Pesantren Al-Amien Tegal. Mari kita bersama-sama lanjutkan perjuangan Pondok Pesantren Al-Amien Tegal. Semoga dapat bermanfaat dan barokah bagi umat. Amien…
Jl. Raya Simpang tiga Prenduan